BLOG and News

Talkshow “Semar Ngopi Bareng Gatotkaca: Teladan Kepemimpinan Dalam Bisnis Untuk Kaum Milenial”

Talkshow “Semar Ngopi Bareng Gatotkaca: Teladan Kepemimpinan Dalam Bisnis Untuk Kaum Milenial”

Facebook
Twitter
LinkedIn

Kepemimpinan yang ideal lahir dari tesis dan anti-tesis berbagai macam kelompok atau organisasi dalam bingkai dialektika normatif sehingga dialektika yang terjadi tidak menyebabkan keresahan sosial (Suparjono, 2018). Dialektika antara tesis dan anti-tesis tersebut didisain sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan sebuah dialektika peradaban yang harmonis. Mampu menciptakan keteraturan sosial, tatanan masyarakat yang adil dan makmur dan persoalan – persoalan yang timbul dapat diselesaikan tanpa kekerasan (Suparjono, 2018). Namun, yang menjadi tantangan adalah bagaimana lahirnya Pemimpin di era disrupsi dalam atmosfir revolusi Industri 4.0 yang kini telah menuju ke revolusi Industri 5.0. Pada masa ini, ide dan gagasan liar muncul untuk membantu manusia menjalani kehidupan yang lebih bermakna (Karinov, 2019). Untuk itu suatu organisasi perlu seorang pemimpin revolusioner yaitu, pemimpin yang membawa perubahan untuk kemajuan organisasi. Selain memiliki jiwa perubahan, siap dan peka dengan kondisi, seorang pemimpin harus memiliki inisiatif untuk melakukan perubahan dan perbaikan di masa yang akan datang (Aryanto, 2016). Local wisdom menjadi solusi atas keresahan-keresahan yang muncul terkait dengan kepemimpinan. Banyak literasi berbasis local wisdom yang membahas permasalahan kepemimpinan dan salah satunya adalah konsep kepemimpinan ideal ala Semar. Konsep kepemimpinan ideal ala Semar mengacu pada konsep “manunggaling kawula gusti” dan “panakawan”. Dalam hal ini, seorang pemimpin dalam suatu organisasi harus menjadi sumber inspirasi, memiliki ide yang inovatif, serta dapat berkontribusi secara signifikan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, penguatan kearifan lokal, pelestarian lingkungan hidup dan penciptaan kemitraan global yang berlandaskan pada perdamaian dunia. Sehingga untuk mempelajari esensi kepemimpin yang ditinjau dari perspektif local wisdom, Leadership Club Pascasarjana FBE Universitas Surabaya akan mengadakan Talkshow yang diisi oleh Prof. Drs.ec. Wibisono Hardjopranoto, M.S. dan Is Yuniarto, S.Ds. Acara ini diselenggarakan dengan tujuan untuk membuka wawasan mengenai kepemimpinan dalam bisnis yang mengacu pada nilai-nilai local wisdom.

Gambar 1. Pembicara Talkshow “Semar Ngopi Bareng Gatotkaca: Teladan Kepemimpinan Dalam Bisnis Untuk Kaum Milenial”

Sesi pertama di isi oleh Prof. Wibisono yang menjelaskan bahwa menjadi leader adalah menjadi sebuah pelayan dimana filosofi Semar menrefleksikan sebuah pelayan. Hidup dikatakan bermakna ketika kita mampu hidup bersama dan memberi manfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitar. Semar memiliki dua hal yang bertentangan di dalam karakternya tetapi bisa tetap seimbang, yaitu ada hal yang baik dan hal yang buruk dan semuanya harus seimbang. Kita hanya bisa melihat kebaikan ketika kita mengetahui kejahatan, itulah yang namanya simbol kebijaksanaan. Hidup tidak hanya untuk memberikan manfaat untuk diri sendiri, tetapi bagaimana kita bisa memberikan “lampu” bagi orang lain, layaknya lilin yang mengorbankan dirinya untuk menyalakan lilin yang lain. Sebuah bangsa yang berbudaya adalah sebuah bangsa yang mampu memrefleksikan peradaban dalam kehidupan berbangsa. Filosofi Semar dalam dunia kerja bermakna pada suatu dialegtika. Dialegtika memiliki manfaat untuk meresapi dan menilai sebuah value. Melalui keteladanan dari wayang Semar, kita bisa belajar kebijaksanaan untuk menghadapi problem yang ada di dunia.

Sesi kedua, di isi Is Yuniarto yang berkiprah di media komik, menyatakan untuk membuat sebuah komik haruslah di mulai dari hal sederhana seperti membuat komik singkat yang sederhana. Dari sebuah komik yang sederhana, kita dapat belajar dan mendapatkan feedback dari pembaca, dan kita juga menyadari bahwa dalam tulisan kita masih terdapat kelemahan dan harus diperbaiki terus menerus. Dalam media komik maka orang akan lebih melihat gambar terlebih dahulu dibandingkan tulisan yang ada. Hal ini sesuai dengan karakteristik kaum milineal yang lebih menyukai visual dalam mendapatkan informasi dan hal ini sejalan dengan pepatah “a picture said a thousand words”.

More Articles