Hari Senin, 28 November 2022, kembali Leadership Club melaksanakan webinar dengan tema “ Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Cluster PPN”. Webinar dibuka dengan sambutar Dekan Dr. Putu Anom Mahadwartha, S.E., M.M., CSA dan diikuti penyampaian materi oleh Afid Nurcahya, S. S.T., M. A. Secara ringkas, Undang-undang Perpajakan telah disahkan sejak 1 tahun yang lalu, tepatnya disetujui 7 Oktober 2021 yang kemudian pada 29 Oktober 2021, ditetapkan menjadi Undang-Undang No.7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sifatnya tidak menggantikan, tetapi mengubah Undang-Undang yang lama. Hal ini dikarenakan oleh 3 faktor, yaitu efisiensi perpajakan di Indonesia hanya 63.58%. Kemudian, untuk memperluas basis pemajakan yang sebelumnya non-BKP dan non-JKP dapat menjadi BKP dan JKP, contohnya adalah barang tambang. Faktor selanjutnya adalah tingginya tax expenditure, karena banyaknya fasilitas yang ditanggung pemerintah. Hal yang diatur dalam UU HPP yaitu objek dan fasilitas (mengubah beberapa ketentuan pada Pasal 4A dan Pasal 16B UU PPN), kenaikan tarif PPN (mengubah ketentuan pada Pasal 7 UU PPN), kemudahan dan kesederhanaan (mengubah ketentuan pada Pasal 8A dan menyisipkan pasal baru yaitu Pasal 9A), pengkreditan pajak masukan (memperbaiki dan menghapus beberapa ketentuan pada Pasal 9), serta pendelegasian wewenang (menambah pasal baru yaitu 16G, 9 hal yang diserahkan kepada Menteri Keuangan mengenai pelaksanaannya).
Afid kemudian menguraikan poin-poin diatas menjadi penjelasan yang rinci. Pengurangan objek dan fasilitas PPN. Fasilitas pembebasan PPN diberikan terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya. Fasilitas ini memiliki maksud untuk memperluas basis PPN dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, asas kemanfaatan khususnya memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional (optimalisasi penerimaan negara). Kenaikan tarif PPN. Hal ini dilatarbelakangi oleh rendahnya tarif PPN Indonesia dibandingkan tarif global (15,4%), negara OECD (19%), dan negara BRICS (17%). Tarif PPN akan naik secara bertahap dari 10%. Selain itu, administrasi perpajakan memberikan kemudahan dan kesederhanaan lainnya dengan menggunakan besaran tertentu, bagi PKP yang peredaran usahanya tidak melebihi jumlah tertentu dan yang melakukan kegiatan usaha tertentu. Pengkreditan pajak masukan. Dalam hal mengkreditkan jumlah pajak masukan, jika diketahui dengan pasti melalui pembukuannya, maka jumlah pajak masukan yang dikreditkan merupakan pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Sebaliknya, jika tidak diketahui dengan pasti, maka jumlah pajak masukan yang dikreditkan dihitung dengan pedoman pengkreditan pajak masukan. Pajak masukan hanya diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP/JKP yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Pendelegasian wewenang. Pada awalnya diatur per pasal (terkait nilai lain, kriteria belum melakukan penyerahan BKP/JKP, penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan pajak masukan, PKP beresiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan, pedoman pengkreditan PMK, penentuan sektor usaha tertentu pagi PKP belum menyerahkan BKP/JKP, pembayaran kembali pajak masukan, pengkreditan pajak masukan, jumlah peredaran usaha tertentu, jenis kegiatan usaha tertetu, jenis BKP/JKP tertentu, dan besaran PPN yang dipungut/disetor), dan telah digabung menjadi 1 dalam Pasal 16G.
Demikian ringkasan webinar perpajakan, seperti slogan pajak “Orang Bijak Taat Pajak”, dan pajak dibutuhkan untuk membangun Negara dan berfungsi sebagai pemerataan.